Info Terkini :

SMK Negeri 3 Tegal
Jl. Gajahmada 72 D Tegal 52113

Powered by Blogger

Jumat, 24 Juli 2009

Negara Ikut Lahirkan Terorisme

Oleh: Toto Suparto

PELEDAKAN bom di Mega Kuningan, Jakarta, belum lama ini melahirkan opini publik bahwa pelakunya adalah kelompok fanatik agama tertentu. Opini ini dibangun secara sistematis sehingga muncul kesan hanya orang-orang fanatik yang rela menjadi martir bom bunuh diri. Pelaku dianggap lebih memburu surgawi ketimbang duniawi. Janji surga menggerakkan pelaku untuk menerima tantangan mematikan.


Kalau mau memperhatikan secara lebih jernih akar teror itu, akan tampak bahwa bukan melulu janji surga yang menggerakkan para teroris. Bukan pula hanya soal ideologi. Tetap saja ada pengukur materi. Filsafat teror melihat terorisme di
sini mengandung ekspresi kaum marginal terhadap kemapanan, entah itu kemapanan
yang dinikmati elite politis maupun birokrat. Yang paling mencolok adalah
ekspresi ketidaksetaraan antarbelahan dunia yang ditunjukkan oleh ketimpangan
ekonomi.

Terorisme Global

Kita mulai dulu dari skala luas. Dalam tatanan dunia, terorisme tumbuh akibat
ketimpangan belahan dunia. Entah itu di Bali atau di Mega Kuningan, sasaran
teror adalah simbol-simbol Barat. Kapitalisme Barat sangat nyata mengalir ke
negeri ini dan celakanya malah memperlebar ketimpangan. Karena itu, Barat
menjadi metafor keserakahan yang harus dihentikan. Inilah yang acap disebut
terorisme global.

Terorisme global adalah menebar ketakutan kepada dunia atas penolakan
ketimpangan globalisasi. Secara eksplisit para teroris itu ingin menunjukkan
penolakan terhadap jenis modernitas dan sekularisasi. Simbol modernitas dan
sekularisasi adalah Barat.

Teroris itu menyerang akses Barat di Indonesia, sebagai wujud perlawanan
terhadap kecongkakan globalisasi. Sudah lama diingatkan oleh para pemikir sosial
bahwa globalisasi telah membagi masyarakat dunia ke dalam kelompok-kelompok
pemenang, penerima keuntungan, dan para pecundang. Terorisme global adalah
perlawanan para pecundang terhadap pemenang.

Para pecundang punya dalih bahwa globalisasi merupakan "pencabutan cara-cara
hidup tradisional dengan jalan kekerasan". Si pencabut itu justru Barat lewat
modernisasi. Mereka yang kalah lebih rapuh terhadap modernisasi yang kejam, yang
justru dibawa oleh pasar global dan celakanya, didominasi oleh sejumlah kecil
korporasi internasional.

Kalau kita pinjam pandangan filsuf Jurgen Habermas, terorisme merupakan efek
trauma modernisasi yang telah menyebar ke seantero dunia dengan suatu kecepatan
patologis. Sementara Jacques Derrida melihat terorisme sebagai suatu gejala
elemen traumatis yang intrinsik terhadap pengalaman modern. Fokusnya selalu pada
hari depan yang acapkali dipahami sebagai janji, harapan, dan penegasan diri.
Karena itu, momok terorisme global menghantui cita rasa kita akan masa depan
karena ia membunuh harapan.
Marginalitas Terorisme

Bicara soal harapan, kita akan berhadapan dengan fakta bahwa banyak anggota
masyarakat hidup tanpa harapan. Ketika berharap untuk menumbuhkan keluarga
sehat, mereka berhadapan dengan adagium kapitalisme "sehat itu mahal". Karena
itu, senantiasa dipelesetkan, "Orang miskin jangan sakit". Begitupun manakala
berkeinginan menyekolahkan anaknya, mereka terbentur sebuah fakta semu dari
"sekolah gratis". Kenyataannya sekolah masih saja membutuhkan biaya tinggi.

Ketimbang berpengharapan tanpa terwujudkan, masyarakat pun memilih hidup tanpa
harapan. Orang hidup tanpa harapan sesungguhnya ketiadaan akses. Mereka yang
punya akses lebih mudah mewujudkan segala harapan tersebut. Inilah kondisi
mengkhawatirkan, yakni ketika ada orang tanpa harapan dan orang berpengharapan
dan ini acap dinamakan ketimpangan.

Di mana pun kita duduk, apakah itu di birokrasi atau kancah politik, tetap harus
menjaga agar tidak terlalu njomplang ketidaksetaraan. Memang sebuah konsekuensi,
ada yang tersisih dalam sebuah proses mewujudkan itu. Namun, kalau membiarkan
kian banyak yang tersisih, sama artinya menyimpan bom waktu yang suatu saat
meledak dahsyat.
Tanggung Jawab Negara

Agar bom waktu tidak meledak, negara punya peran. Hakikatnya, kesenjangan dan
ketidaksetaraan bisa ditekan jika negara secara maksimal mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Ketimpangan global bisa pula dimanipulasi bila negara bisa
memfilter kapitalisme Barat. Namun, apa lacur, negara lebih berfungsi bagi
segelintir orang ketimbang rakyat kebanyakan. Akibatnya, ekspresi kesenjangan,
ketidaksetaraan maupun ketimpangan global itu terus terjadi. Bentuk ekspresi
yang paling nyata adalah terorisme. Ini berarti tatkala negara membiarkan
kesenjangan maupun ketimpangan, sama artinya ikut melahirkan terorisme.

Jadi, sekali lagi, teror tidak sekadar berkedok agama. Masih sangat memungkinkan
teror disebabkan oleh warna ekonomi dan budaya. Wajar jika senantiasa diingatkan
oleh para pengamat, tak selayaknya buru-buru melihat agama demi memberangus
terorisme. Pada dasarnya agama sekadar penguatan sekaligus percepatan. Cukup
memakai dalil agama, seorang penggerak akan mudah merekrut operator lapangan.
Janji-janji surga memudahkan untuk membangun jaringan ketimbang janji-janji
materiil.

Namun, sesungguhnya upaya menekan terorisme adalah bagaimana negara bisa
menjalankan fungsinya bagi masyarakat. Jika negara secara sungguh-sungguh mau
menyejahterakan rakyatnya, pelan-pelan terorisme bisa ditekan. Inilah pekerjaan
besar bagi aparat negara, terutama para pemimpin baru di negeri ini. (*)

*). Toto Suparto , peneliti di Pusat Kajian Agama dan Budaya (Puskab)
Jogjakarta.

Tidak ada komentar: