Oleh: Toto Suparto PELEDAKAN bom di Mega Kuningan, Jakarta, belum lama ini melahirkan opini publik bahwa pelakunya adalah kelompok fanatik agama tertentu. Opini ini dibangun secara sistematis sehingga muncul kesan hanya orang-orang fanatik yang rela menjadi martir bom bunuh diri. Pelaku dianggap lebih memburu surgawi ketimbang duniawi. Janji surga menggerakkan pelaku untuk menerima tantangan mematikan. Kalau mau memperhatikan secara lebih jernih akar teror itu, akan tampak bahwa bukan melulu janji surga yang menggerakkan para teroris. Bukan pula hanya soal ideologi. Tetap saja ada pengukur materi. Filsafat teror melihat terorisme di sini mengandung ekspresi kaum marginal terhadap kemapanan, entah itu kemapanan yang dinikmati elite politis maupun birokrat. Yang paling mencolok adalah ekspresi ketidaksetaraan antarbelahan dunia yang ditunjukkan oleh ketimpangan ekonomi.
Terorisme Global
Kita mulai dulu dari skala luas. Dalam tatanan dunia, terorisme tumbuh akibat ketimpangan belahan dunia. Entah itu di Bali atau di Mega Kuningan, sasaran teror adalah simbol-simbol Barat. Kapitalisme Barat sangat nyata mengalir ke negeri ini dan celakanya malah memperlebar ketimpangan. Karena itu, Barat menjadi metafor keserakahan yang harus dihentikan. Inilah yang acap disebut terorisme global.
Terorisme global adalah menebar ketakutan kepada dunia atas penolakan ketimpangan globalisasi. Secara eksplisit para teroris itu ingin menunjukkan penolakan terhadap jenis modernitas dan sekularisasi. Simbol modernitas dan sekularisasi adalah Barat.
Teroris itu menyerang akses Barat di Indonesia, sebagai wujud perlawanan terhadap kecongkakan globalisasi. Sudah lama diingatkan oleh para pemikir sosial bahwa globalisasi telah membagi masyarakat dunia ke dalam kelompok-kelompok pemenang, penerima keuntungan, dan para pecundang. Terorisme global adalah perlawanan para pecundang terhadap pemenang.
Para pecundang punya dalih bahwa globalisasi merupakan "pencabutan cara-cara hidup tradisional dengan jalan kekerasan". Si pencabut itu justru Barat lewat modernisasi. Mereka yang kalah lebih rapuh terhadap modernisasi yang kejam, yang justru dibawa oleh pasar global dan celakanya, didominasi oleh sejumlah kecil korporasi internasional.
Kalau kita pinjam pandangan filsuf Jurgen Habermas, terorisme merupakan efek trauma modernisasi yang telah menyebar ke seantero dunia dengan suatu kecepatan patologis. Sementara Jacques Derrida melihat terorisme sebagai suatu gejala elemen traumatis yang intrinsik terhadap pengalaman modern. Fokusnya selalu pada hari depan yang acapkali dipahami sebagai janji, harapan, dan penegasan diri. Karena itu, momok terorisme global menghantui cita rasa kita akan masa depan karena ia membunuh harapan. Marginalitas Terorisme
Bicara soal harapan, kita akan berhadapan dengan fakta bahwa banyak anggota masyarakat hidup tanpa harapan. Ketika berharap untuk menumbuhkan keluarga sehat, mereka berhadapan dengan adagium kapitalisme "sehat itu mahal". Karena itu, senantiasa dipelesetkan, "Orang miskin jangan sakit". Begitupun manakala berkeinginan menyekolahkan anaknya, mereka terbentur sebuah fakta semu dari "sekolah gratis". Kenyataannya sekolah masih saja membutuhkan biaya tinggi.
Ketimbang berpengharapan tanpa terwujudkan, masyarakat pun memilih hidup tanpa harapan. Orang hidup tanpa harapan sesungguhnya ketiadaan akses. Mereka yang punya akses lebih mudah mewujudkan segala harapan tersebut. Inilah kondisi mengkhawatirkan, yakni ketika ada orang tanpa harapan dan orang berpengharapan dan ini acap dinamakan ketimpangan.
Di mana pun kita duduk, apakah itu di birokrasi atau kancah politik, tetap harus menjaga agar tidak terlalu njomplang ketidaksetaraan. Memang sebuah konsekuensi, ada yang tersisih dalam sebuah proses mewujudkan itu. Namun, kalau membiarkan kian banyak yang tersisih, sama artinya menyimpan bom waktu yang suatu saat meledak dahsyat.
Tanggung Jawab Negara
Agar bom waktu tidak meledak, negara punya peran. Hakikatnya, kesenjangan dan ketidaksetaraan bisa ditekan jika negara secara maksimal mewujudkan kesejahteraan rakyat. Ketimpangan global bisa pula dimanipulasi bila negara bisa memfilter kapitalisme Barat. Namun, apa lacur, negara lebih berfungsi bagi segelintir orang ketimbang rakyat kebanyakan. Akibatnya, ekspresi kesenjangan, ketidaksetaraan maupun ketimpangan global itu terus terjadi. Bentuk ekspresi yang paling nyata adalah terorisme. Ini berarti tatkala negara membiarkan kesenjangan maupun ketimpangan, sama artinya ikut melahirkan terorisme.
Jadi, sekali lagi, teror tidak sekadar berkedok agama. Masih sangat memungkinkan teror disebabkan oleh warna ekonomi dan budaya. Wajar jika senantiasa diingatkan oleh para pengamat, tak selayaknya buru-buru melihat agama demi memberangus terorisme. Pada dasarnya agama sekadar penguatan sekaligus percepatan. Cukup memakai dalil agama, seorang penggerak akan mudah merekrut operator lapangan. Janji-janji surga memudahkan untuk membangun jaringan ketimbang janji-janji materiil.
Namun, sesungguhnya upaya menekan terorisme adalah bagaimana negara bisa menjalankan fungsinya bagi masyarakat. Jika negara secara sungguh-sungguh mau menyejahterakan rakyatnya, pelan-pelan terorisme bisa ditekan. Inilah pekerjaan besar bagi aparat negara, terutama para pemimpin baru di negeri ini. (*)
*). Toto Suparto , peneliti di Pusat Kajian Agama dan Budaya (Puskab) Jogjakarta. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar